Hadiah untuk Ibu -->

Iklan Semua Halaman

Hadiah untuk Ibu

Mahmud Thorif
07 Januari 2018
Oleh : Mahmud Thorif

Salimah, adalah gadis mungil yang masih berusia 9 tahun. Jilbab yang ia kenakan terlihat kusam, sepatu cats yang dia pakai sudah berubah dari warna aslinya, tali yang semula warnanya putih sudah berubah warna menjadi kecoklatan. Tas yang dia gendong setiap hari sudah terlihat jahitan di sana sini, tampak talinya hampir putus karena banyaknya beban. Bahkan seragam sekolah yang setiap hari ia kenakan tidak pernah terkena panasnya besi seterika.

Salimah sekolah di sebuah SD Negeri yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Keadaan ekonomilah yang membuat Salimah tidak seperti anak-anak pada umumnya. Setiap sekolah, dia harus mampir ke kantin kecil yang ada di sekolahnya, bukan untuk membeli jajan bersama teman-temannya yang setiap hari selalu diberi uang saku. Bukan. Tetapi dia menitipkan barang dagangan yang dibuat oleh ibunya di kantin sekolah. Ia berharap selalu, setelah selesai sekolah dagangannya habis terjual. Salimah tidak pernah mempedulikan ada beberapa teman-temannya mencibirnya. Dia hanya ingin berusaha membantu ibunda tercintanya.

Tidak hanya berhenti di situ, setiap pulang sekolah, Salimah harus membantu ibunya bekerja mencari uang demi mencukupi kebutuhan mereka dengan memungut barang-barang bekas di sekeliling tempat tinggalnya. Lelah, penat, capai, haus, dan lapar adalah makanan sehari-hari yang dia hadapi. Terkadang, badan sakitpun dia berusaha sekuat tenaga untuk terus melakukan pekerjaannya. Beruntung Salimah ditemani oleh gerobak dorongnya, sehingga badan mungilnya masih bisa mendorong gerobak beserta muatannya.

Salimah tidak pernah melihat dalam hidupnya sosok ayahnya. Kata Ibu, ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan kerja saat merantau di kota metropolitan Jakarta. Salimah hanya bisa melihat sesosok ayahnya dari album usang pernikahan ibunya yang sudah sangat buram karena tidak disimpan dengan baik. Masih kata ibunya, ayah adalah sesosok yang sangat bertanggungjawab dalam keluarganya, Beliau tidak kenal lelah dalam mencari nafkah untuk ibu dan anak-anaknya. Itulah sepenggal kisah ayahnya, yang ia sendiri belum pernah berjumpa.

Terkadang ia iri melihat teman-temannya bisa diantar oleh ayah mereka, mencium tangannya, bahkan ada ayah dari teman-temannya yang mencium kening anaknya ketika melepas di sekolah. Ah Ayah, aku rindu. Sayang, engkau telah pergi jauh meninggalkanku.

***

Sore itu, hujan mengguyur dengan sangat deras kampung Salimah. Petir terdengar keras masuk ke gendang telinga semua orang di sana membuat semua orang berusaha menutup lubang telinga dengan telunjuk jari mereka. Kilat berkelebat bagaikan para fotografer mengabadikan moment yang menakjubkan.

Salimah, baru saja mendorong gerobak penuh muatnya. Hujan deras, petir menyambar, dan kilat ia terobos. Basah kuyup tubuh mungilnya, jilbab merah kesangannya telah basah oleh air hujan. Sore itu ia bertekad harus bisa menjual sebanyak mungkin hasil pulungannya. Sayang sekali, hujan deras ini telah menghalanginya. Gerobak dorong tidak bisa melewati derasnya air hujan yang bercampur dengan aliran sungai. Terlalu kecil, bocah itu untuk menahan beban hidupnya.

Ah, tapi siapa yang akan peduli dengan dia dan ibunya jika ia santai dan duduk-duduk saja di rumah? Siapa? Pemerintah? Mustahil mereka akan memperhatikan para orang miskin seperti dia. Para orang kaya yang di pemerintahan itu hanya akan datang ketika membutuhkan orang miskin saja. Entah siapa yang akan peduli dengan nasib orang miskin seperti mereka.

Gelapnya malam telah menidurkan mata mungil Salimah beserta angan-angannya. Gadis kecil itu tidur di samping ibunya hanya berselimutkan sarung bekas ayahnya. Merajut benang-benang kusut kehidupan dalam mimpi-mimpinya.

***

“Salimah, kenapa hari ini kamu terlambat?” Tanya Pak Hasan, guru kelas Salimah, dengan suara yang meninggi.

“Sa...sa... saya sakit, Pak.” Jawab Salimah dengan gemetar.

“Kalau sakit kenapa masuk sekolah, hah?” Bentak Pak Hasan, memandang Salimah dengan pandangan yang sangat tajam.

Salimah hanya tertunduk. Ia menahan tangisnya. Tapi, butir-butir air bening itu akhirnya tidak bisa ia tahan. Pipinya basah oleh air matanya. Ia mencoba mengusap dengan lengan tangan mungilnya yang tampak menghitam karena kerasnya kehidupannya. Ia tidak berani menatap wajah guru di depannya, apalagi menatap teman-temannya yang sudah barang tentu akan semakin mengejeknya. Ia hanya tertunduk lesu, menahan demam di badannya dan menahan gejolak pada jiwanya.

***

Siang itu udara sangat terik, sinar mentari bagaikan bara yang memanggang kulit-kulit manusia. Cuaca seperti ini membuat senang pabrik lotion, karena produk-produknya laku keras. Lalu lalang kendaraan begitu ramai, mulai dari mobil mewah keluaran terbaru sampai mobil dan motor yang suaranya memekakkan telinga. Semua beradu cepat, saling mendahului.

Tidak ketinggalan dengan Salimah, ia memacu laju kendarannya, maksudnya gerobaknya, dengan kecepatan tinggi. Roda berdiameter 50 centimer itu ia kebut sekencang-kencangnya. Suara badan gerobaknya membuat suasana jalan bertambah ramai dengan kehadiran bocah kecil tersebut. Ia lupa bahwa kendaraannya, maksudnya gerobagnya tidak dilengkapi dengan rem otomatis. Ia juga lupa, gerobagnya tidak dilengkapi dengan kaca spion yang bisa melihat ke belakang.

Gubraaaak.... gerobag dorong itu menabrak pembatas jalan, lalu oleng ke tengah. Sebuah kendaraan dengan laju yang sangat cepat menabraknya.

***

Salimah terbaring di rumah sakit. Ia merasakan seluruh tubuhnya sakit. tulang-belulangnya terasa mau lepas. Kepalanya terasa berputar-putar. Ia mencoba mengingat-ingat sesuatu, tapi belum bisa mengingat apa yang telah terjadi.

“Kamu kecelakaan, Nduk.” Bisik Ibundanya yang telah ada di sampingnya.

“Saya di mana, Ibu?” Tanyanya dengan suara yang lemah.

“Kamu ada di rumah sakit, Nduk.” Jawab Ibunda Salimah menahan bulir-bulir air mata yang ada di kelopak matanya.

“Kamu istirahat ya,” Bisiknya dengan penuh kelembutan.

Salimah hanya mengangguk. Bau obat di rumah sakit itu membuat kepalanya semakin berputar-putar. Hingga ia tertidur pulas karena pengaruh obat yang telah disuntikk ke dalam tubuhnya.

***

Hari ini Salimah sangat bahagia. Ia akan pergi ke sebuah tempat membelikan sesuatu untuk Ibundanya tercinta. Uang tabungannya kemarin dia hitung dan cukup untuk membelikan sesuatu buat ibundanya. Uang tabungan itu ia kumpulkan hari demi hari, minggu demi minggu, bahkan bulan demi bulan. Derasnya hujan, panasnya matahari, ganasnya kilat dan petir tidak menghalanginya untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah setiap harinya.

Salimah akan membeli kaki palsu buat Ibundanya. Iya. Kaki kiri Ibu Salimah pernah diamputasi karena kecelakaan saat mendorong gerobagnya. Hingga Ibunya tidak bisa kembali mendorong gerobag peninggalan ayahnya. Salimah tidak tega melihat Ibundanya jika berjalan harus dengan tongkat bambunya. Ia mencari tahu, berapa harga sebuah kaki palsu untuk ibunya.

Ibunda Salimah mencoba kaki palsu yang telah dibelikan oleh putri kesayangannya. Ia mencoba berjalan dengan kaki palsunya. Terasa sedikit nyeri, tapi lama-kelamaan ia merasa lebih nyaman dengan kaki palsunya.

Ibu itu memeluk erat Salimah, putrinya. Air matanya tidak bisa berhenti mengalir membasahi pipinya yang sudah keriput. Ia memeluk sangat erat putrinya, tidak mau melepasnya.

“Terimakasih, Nduk. Tentu kamu berbulan-bulan mengumpulkan uang untuk membeli ini.” Kata Ibunda.

Salimah hanya diam. Air mata yang ia usahakan tidak tumpah dari kelopak matanyanya pun tumpah.

“Ini hadiah untuk Ibu.” Jawabnya lirih.


Yogyakarta, 6 Januari 2018.